Mantra Itu Berbunyi, “Menulislah!”

       
Menulis. Sebuah kata yang begitu asing di telinga saya waktu itu, Yang terbayang ketika mendengar kata menulis ialah sebuah tugas yang mengerikan. Selain menghitung, dulu saya paling tidak suka ketika ada
tugas mengarang ataupun membuat puisi. Bagi saya itu sebuah momok yang menakutkan. Namun ada sebuah  titik balik yang membuat saya perlahan mencintai kegiatan ini. Berawal dari rasa kagum terhadap teman yang saat itu menulis sebuah tulisan fiksi. Saat membacanya, saya berdecak kagum dan heran, kok bisa dia menulis cerita seperti ini. Dia hanya menjawab singkat, “ Tinggal tulis aja apa yang ada di pikiranmu.”
Dari kejadian itu, mulai tumbuh benih-benih semangat ingin bisa menulis. Namun kejadian tadi belum sepenuhnya membuat saya benar-benar menulis. Saya benar-benar mulai menulis ketika mengikuti sebuah Training kepemimpinan. Disana setiap peserta dituntut untuk menuliskan opini mereka setiap hari dari sebuah tema yang diberikan. Sontak saya kaget. Bagaimana tidak, saya yang sama sekali tidak pernah menulis kemudian dituntut untuk menulis kan opini setiap hari. Bisa kalian bayangkan bagaimana pusingnya saya saat itu. Mau tidak mau akhirnya saya pun menulis. Karena tidak mungkin saya harus menyerah pada kenyataan dan tidak menulis, sedangkan peserta lain menulis.
        Semenjak kejadian kedua ini, semangat untuk menulis semakin menggebu-gebu. Saya tidak mau kejadian seperti itu terulang kembali. Maka dari itu saya pun bertekad untuk bisa menulis. Yang awalnya hanya sekedar benih, kemudian tumbuh menjadi sebuah bunga, walaupun belum indah. Agar bunga ini tumbuh indah, maka saya harus menyirami dan merawatnya dengan terus berlatih menulis.
Seseorang pernah berkata,” Jika kau ingin menjadi penulis, maka perbanyaklah membaca.” Benar sekali. Modal awal untuk menulis adalah membaca. Tanpa membaca, seseorang tidak akan bisa menulis. Tulisannya akan terasa hambar. Itulah yang saya coba setiap kali ingin menulis, setidaknya ada satu buku yang saya baca. Dari membaca, kita bisa mendapatkan tambahan ilmu baru untuk tulisan kita seperti perbendaharaan diksi yang baru.
           Di awal-awal menulis, awalnya saya tidak terlalu tertarik untuk mengikuti lomba karena merasa belum waktunya. Banyak teman yang menyuruh untuk mencoba, namun saya tolak. Hingga ada seorang teman mampu meyakinkan untuk ikut lomba. Walaupun pada akhirnya tidak menjadi juara. Setidaknya sudah pernah mencoba. Untuk saat ini, saya sedang fokus ke blog pribadi. Di blog itulah saya tampung semua tulisan saya. Saya beranggapan, butuh sebuah tempat untuk menampung semua tulisan ini. Sehingga saya putuskan membuatkan rumah, yaitu blog.
        Kini saya merasa menulis sudah menjadi sebuah kebutuhan. Dari menulis, kita bisa menyuarakan pendapat kita mengenai suatu masalah. Menulis merupakan cara yang tepat bagi saya untuk mengeluarkan ide yang ada di kepala ini. Karena saya merupakan tipe orang yang sulit untuk mengungkapkan sesuatu secara langsung atau melalui lisan. Hingga suatu kali ketika saya menyukai seseorang, karena terlalu malu untuk mengungkapkan nya secara langsung, kuputuskan untuk memberitahunya melalui secarik kertas.
        Banyak hal yang membuat saya sampai saat ini tetap menulis dan selalu ingin menulis. Diantaranya karena ingin mengikuti jejak para ulama terdahulu. Karena semua ulama adalah penulis. Sebagai contoh, Imam Syafi’I pengarang kitab Al Umm, kitab rujukan fikih. Imam Maliki, pengarang kitab Al Muwatta’, dan masih banyak lagi. Dengan menulis, seakan-akan kita abadi melalui tulisan kita. Contoh, imam Syafi’i. Beliau sudah wafat beberapa abad yang lalu, namun seperti masih hidup. Namanya selalu disebut. Beliau abadi melalui karya-karyanya. Namun yang perlu di garis bawahi dan peringatan bagi yang ingin menulis. Janganlah niat menulis itu karena ingin terkenal ataupun untuk mendapatkan uang. Perbaiki niat kita. Kalau niat kita sudah benar, insyaAllah popularitas dan uang akan datang dengan sendirinya.

               
        Menulis, bagi saya merupakan sebuah medan dakwah dan bentuk perjuangan saya dalam menegakkan agama Islam. Banyak cara untuk memperjuangkan agama ini. Namun saya memilih menulis. Inilah medan dakwah yang tepat bagi saya. Dan saya berharap agar tetap diberikan ke Istiqomahan dalam menulis hingga ajal menjemput. Semoga niat ini tetap lurus dan terhindar dari godaan-godaan yang menjerumuskan kepada kebinasaan. Aamiin.
      Menulis tidak memiliki batasan apapun. Siapapun bisa menulis. Mau dia tua, muda, sehat, sakit, semua bisa menulis selama ia memiliki semangat. Jadi, tunggu apa lagi. Ayo menulis. Mari kita sama-sama memperjuangkan agama ini melalui menulis. Terakhir, ingat pesan ini,” Menulislah! Karena semua ulama adalah penulis. Menulislah! Sebagai bukti kau pernah hidup di dunia ini.”
Peradaban Islam di ukir oleh 2 tinta emas:
Pertama, tinta hitam. Karya-karya para ulama
Kedua, tinta merah. Darah para syuhada yang berjihad Fii Sabilillah
(Dr. Abdullah Azzam)
WaAllahu A’lam Bis Shawab

Sumber: https://dhafinfa.wordpress.com/2017/11/07/mantra-itu-berbunyi-menulislah/