Menulis. Sebuah kata yang begitu asing di telinga saya waktu itu, Yang terbayang ketika mendengar kata menulis ialah sebuah tugas yang mengerikan. Selain menghitung, dulu saya paling tidak suka ketika ada
tugas mengarang ataupun membuat puisi. Bagi saya itu sebuah momok yang menakutkan. Namun ada sebuah titik balik yang membuat saya perlahan mencintai kegiatan ini. Berawal dari rasa kagum terhadap teman yang saat itu menulis sebuah tulisan fiksi. Saat membacanya, saya berdecak kagum dan heran, kok bisa dia menulis cerita seperti ini. Dia hanya menjawab singkat, “ Tinggal tulis aja apa yang ada di pikiranmu.”
Dari kejadian itu, mulai tumbuh
benih-benih semangat ingin bisa menulis. Namun kejadian tadi belum
sepenuhnya membuat saya benar-benar menulis. Saya benar-benar mulai
menulis ketika mengikuti sebuah Training kepemimpinan. Disana
setiap peserta dituntut untuk menuliskan opini mereka setiap hari dari
sebuah tema yang diberikan. Sontak saya kaget. Bagaimana tidak, saya
yang sama sekali tidak pernah menulis kemudian dituntut untuk menulis
kan opini setiap hari. Bisa kalian bayangkan bagaimana pusingnya saya
saat itu. Mau tidak mau akhirnya saya pun menulis. Karena tidak mungkin
saya harus menyerah pada kenyataan dan tidak menulis, sedangkan peserta
lain menulis.
Semenjak kejadian kedua ini, semangat
untuk menulis semakin menggebu-gebu. Saya tidak mau kejadian seperti itu
terulang kembali. Maka dari itu saya pun bertekad untuk bisa menulis.
Yang awalnya hanya sekedar benih, kemudian tumbuh menjadi sebuah bunga,
walaupun belum indah. Agar bunga ini tumbuh indah, maka saya harus
menyirami dan merawatnya dengan terus berlatih menulis.
Seseorang pernah berkata,” Jika kau ingin
menjadi penulis, maka perbanyaklah membaca.” Benar sekali. Modal awal
untuk menulis adalah membaca. Tanpa membaca, seseorang tidak akan bisa
menulis. Tulisannya akan terasa hambar. Itulah yang saya coba setiap
kali ingin menulis, setidaknya ada satu buku yang saya baca. Dari
membaca, kita bisa mendapatkan tambahan ilmu baru untuk tulisan kita
seperti perbendaharaan diksi yang baru.
Di awal-awal menulis, awalnya saya tidak
terlalu tertarik untuk mengikuti lomba karena merasa belum waktunya.
Banyak teman yang menyuruh untuk mencoba, namun saya tolak. Hingga ada
seorang teman mampu meyakinkan untuk ikut lomba. Walaupun pada akhirnya
tidak menjadi juara. Setidaknya sudah pernah mencoba. Untuk saat ini,
saya sedang fokus ke blog pribadi. Di blog itulah saya tampung semua
tulisan saya. Saya beranggapan, butuh sebuah tempat untuk menampung
semua tulisan ini. Sehingga saya putuskan membuatkan rumah, yaitu blog.
Kini saya merasa menulis sudah menjadi
sebuah kebutuhan. Dari menulis, kita bisa menyuarakan pendapat kita
mengenai suatu masalah. Menulis merupakan cara yang tepat bagi saya
untuk mengeluarkan ide yang ada di kepala ini. Karena saya merupakan
tipe orang yang sulit untuk mengungkapkan sesuatu secara langsung atau
melalui lisan. Hingga suatu kali ketika saya menyukai seseorang, karena
terlalu malu untuk mengungkapkan nya secara langsung, kuputuskan untuk
memberitahunya melalui secarik kertas.
Banyak hal yang membuat saya sampai saat
ini tetap menulis dan selalu ingin menulis. Diantaranya karena ingin
mengikuti jejak para ulama terdahulu. Karena semua ulama adalah penulis.
Sebagai contoh, Imam Syafi’I pengarang kitab Al Umm, kitab rujukan
fikih. Imam Maliki, pengarang kitab Al Muwatta’, dan masih banyak lagi.
Dengan menulis, seakan-akan kita abadi melalui tulisan kita. Contoh,
imam Syafi’i. Beliau sudah wafat beberapa abad yang lalu, namun seperti
masih hidup. Namanya selalu disebut. Beliau abadi melalui
karya-karyanya. Namun yang perlu di garis bawahi dan peringatan bagi
yang ingin menulis. Janganlah niat menulis itu karena ingin terkenal
ataupun untuk mendapatkan uang. Perbaiki niat kita. Kalau niat kita
sudah benar, insyaAllah popularitas dan uang akan datang dengan
sendirinya.
Menulis, bagi saya merupakan sebuah medan dakwah dan bentuk perjuangan saya dalam menegakkan agama Islam. Banyak cara untuk memperjuangkan agama ini. Namun saya memilih menulis. Inilah medan dakwah yang tepat bagi saya. Dan saya berharap agar tetap diberikan ke Istiqomahan dalam menulis hingga ajal menjemput. Semoga niat ini tetap lurus dan terhindar dari godaan-godaan yang menjerumuskan kepada kebinasaan. Aamiin.
Menulis, bagi saya merupakan sebuah medan dakwah dan bentuk perjuangan saya dalam menegakkan agama Islam. Banyak cara untuk memperjuangkan agama ini. Namun saya memilih menulis. Inilah medan dakwah yang tepat bagi saya. Dan saya berharap agar tetap diberikan ke Istiqomahan dalam menulis hingga ajal menjemput. Semoga niat ini tetap lurus dan terhindar dari godaan-godaan yang menjerumuskan kepada kebinasaan. Aamiin.
Menulis tidak memiliki batasan apapun.
Siapapun bisa menulis. Mau dia tua, muda, sehat, sakit, semua bisa
menulis selama ia memiliki semangat. Jadi, tunggu apa lagi. Ayo menulis.
Mari kita sama-sama memperjuangkan agama ini melalui menulis. Terakhir,
ingat pesan ini,” Menulislah! Karena semua ulama adalah penulis.
Menulislah! Sebagai bukti kau pernah hidup di dunia ini.”
Peradaban Islam di ukir oleh 2 tinta emas:Pertama, tinta hitam. Karya-karya para ulamaKedua, tinta merah. Darah para syuhada yang berjihad Fii Sabilillah(Dr. Abdullah Azzam)
WaAllahu A’lam Bis Shawab
Sumber: https://dhafinfa.wordpress.com/2017/11/07/mantra-itu-berbunyi-menulislah/
Sumber: https://dhafinfa.wordpress.com/2017/11/07/mantra-itu-berbunyi-menulislah/